Minggu, 12 Juli 2015

LAMPU HIJAU ! LAMPU MERAH ?



LAMPU HIJAU!LAMPU MERAH?
Mengapa tak sejalan pada garis yang kau buat waktu itu. Dulu kau begitu menggebu membicarakan ikatan antara aku dengannya. Sekarang, kau diam, acuh, dan berusaha memisahkan cinta semu yang kami bangun ini. Entah ada atmosfer apa yang membuat kau seperti ini. Aku tahu, ikatan kami bagaikan bayangan semu yang bisa saja akan perlahan ditelan detak waktu. Namun, sikapmu membuat aku terpecah menjadi dua, ya hatiku pecah. Memilih keputusanmu atau tetap bersamanya. Memilih tetap bersamanya, sama saja aku melunturkan cinta putih nan murni yang kau lukiskan selama hidupku. Memilih keputusanmu, cinta semu antara aku dengannya akan pupus pada akhirnya.
Aku Nisa. Aku ini memang anak yang penurut. Apapun keputusan orangtuaku harus aku ikuti. Segala pilihan hidup yang akan aku pilih, selalu aku musyawarahkan dengan keluargaku. Ya ini sudah menjadi tradisi dikeluargaku. Keluarga yang penuh demokratis, bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing.
Kegiatanku di luar rumah cukup padat, aku aktif dibeberapa organisasi dan komunitas. Hari minggu seperti ini memang aku habiskan sebagian waktuku di luar rumah.
“Yah, Bu, aku berangkat dulu,” ujarku,”hari ini aku ada acara di Kota Tua.”
“Iya Nisa, kamu hati-hati jangan pulang sore-sore.”
            Aku berjalan menelusuri ruwetnya Ibukota. Bertarung dengan badan-badan manusia yang bervariasi ukurannya, demi mencapai halte Transjakarta yang memang sedang penuh itu. Aku keluarkan ponselku dari dalam tas, mencoba menghubungi seseorang untuk menjemputku. Namun, berkali-kali menghubungi tak ada jawaban. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan ku menuju halte Transjakarta itu.
Tiba-tiba saja ponselku berdering, mengalihkan perhatian banyak orang yang langsung menatap ke arahku. Tertera nama Ari di panggilan masuk itu. Aku luncurkan ponselku ke telingaku.
“Assalammmualaikum Nisa, kamu dimana? Maaf ga diangkat telepon dari kamu, tadi aku lagi jalan.” ujar Ari.
“Di halte transjakarta, aku mau ke Taman Kota.”
“Aku jemput ya, kamu keluar lagi dari haltenya. Tunggu disitu, jangan kemana-mana. 15 menit lagi aku sampai situ.”

Ari adalah kekasihku, dia memang selalu ada buat aku, kami sangat bahagia, kami saling merajut benang-benang untuk membentuk sebuah hasil rajutan yang indah. Dia tidak bisa meninggalkan aku sendirian di tengah kerumunan orang. Benar saja, 15 menit kemudian Ari datang dengan kendaraan sepeda motornya itu. Motornya melaju dengan santai menikmati perjalanan Ibukota.
Tak terasa sudah memasuki senja sore, warna langit pun sudah berubah. Sesuai perkataan Ibu ku, aku tidak boleh pulang sore-sore. Akhirnya pun, Ari mengantarkan ku pulang sampai rumah.
Sesampai dirumah, ternyata Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku sedang berkumpul diruang tamu. Seperti biasa Ari bersalaman dan mencium tangan kedua tangan orangtuaku Namun, ada kejanggalan diraut wajah mereka terutama orangtuaku ini. Ada sebuah raut ketidaksukaan ketika aku dan Ari memasuki ruang tamu. Akan tetapi, Ari harus segera pulang karena ia akan mengantarkan saudaranya. Aku mengantarkan Ari sampai gerbang rumah, mengucapkan terimakasih karena telah menemani seharian ini. Setelah bayangan Ari tak nampak, aku masuk ke rumah kembali.
 Ayah langsung bangkit dari sofa lalu masuk ke dalam kamar sedangkan Ibu memanggilku untuk ikut ke dalam kamarnya. Kakak-kakakku masih tetap berada diruang tamu dan menikmati acara di televisi.
Hatiku langsung menerka-nerka, mengapa sikap orangtuaku begitu acuh terhadap Ari. Aku menuju kamar orangtuaku.
“Ada apa Bu,?” kataku.
“Nisa, Ayah sama Ibu harus bicara sama kamu,” ujar Ibu, ”hubungan kalian harus disudahi saat ini juga Nis.”
Jleb! Aku langsung menutup mulutku dengan tanganku. Rasanya tak percaya ketika Ayah berbicara seperti itu.
“Mengapa Yah mengapa? Ada apa ini sebenarnya? Mengapa Ayah tiba-tiba berbicara seperti itu?”
“Nisa, Ayah minta maaf. Ini semua demi kebaikan kalian. Hubungan kalian untuk saat ini cukup berteman saja.”
“Alasannya apa Ayah?” aku menengok kearah Ibu, ”Bu mengapa bisa seperti ini.” akhirnya airmataku meluncur dengan deras dipelupuk tulang pipiku.
“Kamu harus fokus kuliah Nisa, Ayah tidak mau kuliahmu terganggu. Ingat Nisa masa bakti ayah sudah hampir habis. Hanya kamu harapan Ayah dan Ibu satu-satunya.”
“Tapi Ayah, Nisa sayang Ari. Ari pun sama sayang sama Nisa,” ujarku sambil mengusap butiran yang menempel dipipiku,”selama ini kuliah Nisa tidak terganggu kok Yah, justru Nisa jadi semangat kuliahnya karena kami sering belajar bareng, saling membantu dalam hal mengerjakan tugas kampus.”
“Cukup Nisa, mengapa kamu jadi tidak penurut seperti ini. Ayah sudah bilang, ini kebaikan kalian dan juga kebaikan Ayah dan Ibu. Masuk kamar, mandi lalu solat magrib!” bentak Ayah.
“Baik Ayah, maafkan Nisa. Permisi.” Seraya meninggalkan kamar orangtuaku.
            Baru pertama kali ini, ayah membentakku seperti itu. Ya Tuhan, mengapa akhirnya seperti ini. Apa yang harus aku lakukan. Bagaimana pula aku mengatakan hal ini kepada Ari. Aku mencari ponselku untuk menghubungi Ari. Tak perlu menunggu lama, terdengar suara Ari di dalam ponsel tersebut. Aku mengatakan bahwa esok hari, ada hal penting yang harus aku bicarakan dan Ari pun menyetujui perkataanku. Sempat menanyakan ada apa masalahnya, namun aku mengelak kalau hal ini harus dibicarakan empat mata dan tidak bisa dibicarakan lewat ponsel seperti ini.
            Terdengar suara ketukan pintu dan disusul dengan suara lembut Ibu. Ibu menghampiriku yang tengah berbaring di tempat tidur. Melihat mataku yang sembab akibat deraian airmata, Ibu langsung memelukku dan berkata,”Nisa sayang, kamu tidak boleh seperti ini Nis. Apa yang dikatakan Ayah tadi benar. Walaupun Ibu paham akan hatimu ini.”
            “Ibu, boleh Nisa bertanya?” ujarku seraya melepaskan dekapan Ibu,”mengapa dulu Ibu dan Ayah merestui hubungan Nisa dan Ari bu? Mengapa ketika rajutan yang kami buat hingga sejauh ini harus berhenti sampai disini Bu.”
            “Jujur saja Nisa, Ibu dan Ayah melarang kamu untuk menjalani hubungan spesial dengan pria mana pun. Namun, dengan Ari ini, kami memberikan kesempatan kepada kalian untuk bisa mengenal satu sama lain. Ari baik dimata Ibu dan Ayah, Ari juga sayang sama kamu Nisa. Tetapi Ayah dan Ibu lebih sayang kamu, rasa kasih sayang yang kami berikan pun murni nan tulus Nisa.”ujar Ibu sambil membelai rambut hitam panjangku.

            Ketika Ibu berbicara seperti itu, mulutku hanya bungkam tak dapat mengeluarkan kata-kata. Memang  benar juga apa yang dikatakan Ibu. Perbincangan antara aku dan Ibu harus berhenti karena hampir larut malam. Seperti biasa, Ibu mencium pelipis jidatku dengan lembut dan mengucapkan ‘selamat tidur dan semoga mimpi indah’ untukku.
                                                ***
            Selepas kegiatan belajar dikelas, ayunan kakiku ini melangkah dengan cepat menuju suatu tempat yang memang menjadi tempat kesukaan kami. Aku melihat sosok lelaki dengan postur badan yang tinggi, berkulit putih, dan berkacamata itu sedang duduk dibawah pohon yang kami sebut ‘pohon bercerita’ karena banyak cerita yang kami ceritakan ketika kami sedang duduk di bawah pohon tersebut.
            Aku menghampiri Ari, lalu duduk disampingnya. Meminta maaf karena sudah telat datang. Melihat paras Ari yang begitu indah aku tidak tega mengatakan ini semua.
            “Nisa, ada apa? Mengapa wajahmu begitu tidak ceria seperti biasanya, kamu sakit?” kata Ari seraya memperhatikan kondisiku.
            “Tidak Ari, aku tidak sakit. Hanya sedikit kurang tidur saja semalam, karena harus mengerjakan tugas kampus,” ujarku dengan sedikit berbohong kepada Ari.
            “Syukurlah kalau kamu tidak sedang sakit Nis, oh iya, ada hal apa yang harus dibicarakan?”
            Langsung saja aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, dengan segenap keberanian, dengan segenap keteguhan hatiku, aku ungkapkan kepada Ari. Namun, terlihat diwajah Ari tidak ada tanda-tanda wajah yang sedih, kaget, ataupun kecewa. Bahkan, terlihat wajah yang lembut, wajah yang penuh dengan senyuman khasnya itu.
            “Nisa sayang, aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi. Semalem Ayahmu datang ke kostanku dan membicarakan masalah ini baik-baik. Benar apa yang dikatakan Ayahmu. Rajutan hubungan yang kita buat ini memang hanya bersifat semu,” kata Ari.
            Kami terdiam sesaat. Tak ada yang berbicara baik aku ataupun Ari.
            “Ikutilah kata orangtuamu Nis, aku ikhlas, tapi aku akan jaga kamu seperti sediakalanya. Untuk saat ini, kita berteman dulu. Kita perbaiki akhlak kita sambil menjaga hati kita ini. Insya Allah, jika Allah mengizinkan kita sampai hari yang halal buat kita nanti kelak.”
            Ah Ari memang pria yang dewasa pemikirannya, tidak salah aku dulu memilih untuk bisa mengenal Ari. Aku hanya bisa tersenyum disaat itu. Ari mengusap airmataku dan memeluk tubuhku sambil membelai rambutku.
            Tiba-tiba Ari melepaskan dekapannya dan berkata, “Nisa! Maukah kamu kalau kita kawin lari saja?” ujar Ari sambil berdiri lalu lari meninggalkan aku. Aku langsung mengejar Ari pada saat itu. Enak saja dia ngajak kawin lari. Memangnya tidak capek kalau kawin sambil lari-lari. Hahaha. ***
Astria Rachmayanti, 2014.
Begitu menyakitkan memang jika suatu hubungan tidak direstui oleh orangtua. Lebih menyakitkan dibanding dengan suatu perselingkuhan yang sedang marak terjadi di era globalisasi percintaan pada masa saat ini. Disaat dua hati manusia yang sedang diselimuti baluran kasih sayang tiba-tiba harus dipotong dengan sebuah pemotong yang tajam. Keputusan orangtua Nisa memang baik untuk Nisa maupun Ari kedepannya akan tetapi hati Nisa masih menerka-nerka akan keputusan itu. Nisa hanya bisa mengikutinya dengan hati yang tegar dan mencoba untuk menerima.
“Darimana kamu Nis ?”Tanya Ibu,” sudah malam begini kamu baru pulang.”
“habis jalan sama Ari Bu. Maaf Nisa tidak izin karena tadi baterai ponsel Nisa habis.”
“mulai saat ini waktu

Surat Lamaran

Bekasi, 20 januari 2015


Perihal   :   Lamaran pekerjaan

Lampiran   :   Satu berkas



Kepada
Yth.

Lab. Menengah


Dengan Hormat,


Berdasarkan informasi dari Pj shift lab. FPGA saya, bahwa Laboratorium Menengah membuka lowongan pekerjaan dan kesempatan sebagai asisten Lab , maka dengan ini saya bermaksud mengajukan lamaran sebagai asisten Lab.


Saya   adalah   Mahasiswa SUniversitas   Gunadarma   Fakultas   Ilmu Komputer       JurusaSistem computer semester 5 dengan nilai IPK 2,87 (sementara). Saya dapat mengoperasikan computer dengan Sistem   Operasi Windows, dapat menggunakan Ms. Office dengan baik, dan dapat mengoperasikan internet dengan baik. Saya juga pernah mengikuti kursus dan workshop yang diselenggarakan di Universitas Gunadarma.


Sekarang saya masih kuliah di Universitas Gunadarma sebagai Mahasiswa semester 5.

Sebagabahapertimbangaterlampir fotokopi K T P , C V , transkip nilai, sertifikat-sertifikat pendukung lainnya.

Besar harapan saya untuk dapat bergabung di Lab. Menengah Universitas Gunadarma . Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.




Hormat saya,




Bramandika kusuma wijaya


CV



 
Bramandika Kusuma Wijaya

Jakarta,30 Maret 1994

Perum. Citra Villa Blok K12 no.13

Kel. Mangunjaya

Tambun Selatan- Bekasi 17510
021- 8839-2682 / 0856 9119 1833
bramandikakusumawijaya@gmail.com



CURRICULUM VITAE

Nama      : Bramandika Kusuma Wijaya

Panggilan : Dika

TTL       : Jakarta, 30 Maret 1994

Agama     : Islam

Alamat    : Perum. Citra Villa Blok K12 no.13 Mangunjaya

Tambun Selatan - Bekasi 17510

Telepon   : 021-8839 2682 / 0856 9119 1833

Hobby     : Basket, main game online
Status    : Single (Belum Menikah)

Pendidikan Formal

2000 – 2006    : SD Negeri 2 mangunjaya

2007 – 2009    : SLTP Negeri 3 Tambun Selatan

2010 – 2012    : SMU Negeri 3 Tambun Selatan

2012 – sekarang    : S1 Jurusan Sistem komputer Universitas

Gunadarma

Pengalaman Organisasi

Pramuka SD Negeri 2 mangunjaya

Club Basket SLTP Negeri 3 Tambun Selatan

Club Basket SMU Negeri 1 Tambun Selatan


Pengalaman Workshop & Kursus

- Cisco Borderless Network Technology di hendevane training partner

Demikianlah Daftar  Riwayat  Hidup ini  saya  buat  dengan sebenar – benarnya.



Bekasi, januari 2015







Bramandika kusuma wijaya