LAMPU HIJAU!LAMPU MERAH?
Mengapa
tak sejalan pada garis yang kau buat waktu itu. Dulu kau begitu menggebu
membicarakan ikatan antara aku dengannya. Sekarang, kau diam, acuh, dan berusaha
memisahkan cinta semu yang kami bangun ini. Entah ada atmosfer apa yang membuat
kau seperti ini. Aku tahu, ikatan kami bagaikan bayangan semu yang bisa saja
akan perlahan ditelan detak waktu. Namun, sikapmu membuat aku terpecah menjadi
dua, ya hatiku pecah. Memilih keputusanmu atau tetap bersamanya. Memilih tetap
bersamanya, sama saja aku melunturkan cinta putih nan murni yang kau lukiskan
selama hidupku. Memilih keputusanmu, cinta semu antara aku dengannya akan pupus
pada akhirnya.
Aku
Nisa. Aku ini memang anak yang penurut. Apapun keputusan orangtuaku harus aku
ikuti. Segala pilihan hidup yang akan aku pilih, selalu aku musyawarahkan
dengan keluargaku. Ya ini sudah menjadi tradisi dikeluargaku. Keluarga yang
penuh demokratis, bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing.
Kegiatanku di luar
rumah cukup padat, aku aktif dibeberapa organisasi dan komunitas. Hari minggu
seperti ini memang aku habiskan sebagian waktuku di luar rumah.
“Yah, Bu, aku berangkat
dulu,” ujarku,”hari ini aku ada acara di Kota Tua.”
“Iya Nisa, kamu
hati-hati jangan pulang sore-sore.”
Aku berjalan menelusuri ruwetnya Ibukota.
Bertarung dengan badan-badan manusia yang bervariasi ukurannya, demi mencapai
halte Transjakarta yang memang sedang penuh itu. Aku keluarkan ponselku dari
dalam tas, mencoba menghubungi seseorang untuk menjemputku. Namun, berkali-kali
menghubungi tak ada jawaban. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan ku menuju
halte Transjakarta itu.
Tiba-tiba saja ponselku berdering, mengalihkan
perhatian banyak orang yang langsung menatap ke arahku. Tertera nama Ari di
panggilan masuk itu. Aku luncurkan ponselku ke telingaku.
“Assalammmualaikum Nisa,
kamu dimana? Maaf ga diangkat telepon dari kamu, tadi aku lagi jalan.” ujar
Ari.
“Di halte transjakarta,
aku mau ke Taman Kota.”
“Aku jemput ya, kamu
keluar lagi dari haltenya. Tunggu disitu, jangan kemana-mana. 15 menit lagi aku
sampai situ.”
Ari adalah kekasihku,
dia memang selalu ada buat aku, kami sangat bahagia, kami saling merajut
benang-benang untuk membentuk sebuah hasil rajutan yang indah. Dia tidak bisa
meninggalkan aku sendirian di tengah kerumunan orang. Benar saja, 15 menit
kemudian Ari datang dengan kendaraan sepeda motornya itu. Motornya melaju
dengan santai menikmati perjalanan Ibukota.
Tak terasa sudah memasuki senja sore, warna langit
pun sudah berubah. Sesuai perkataan Ibu ku, aku tidak boleh pulang sore-sore.
Akhirnya pun, Ari mengantarkan ku pulang sampai rumah.
Sesampai dirumah, ternyata Ayah, Ibu, dan
kakak-kakakku sedang berkumpul diruang tamu. Seperti biasa Ari bersalaman dan mencium
tangan kedua tangan orangtuaku Namun, ada kejanggalan diraut wajah mereka
terutama orangtuaku ini. Ada sebuah raut ketidaksukaan ketika aku dan Ari
memasuki ruang tamu. Akan tetapi, Ari harus segera pulang karena ia akan
mengantarkan saudaranya. Aku mengantarkan Ari sampai gerbang rumah, mengucapkan
terimakasih karena telah menemani seharian ini. Setelah bayangan Ari tak
nampak, aku masuk ke rumah kembali.
Ayah langsung
bangkit dari sofa lalu masuk ke dalam kamar sedangkan Ibu memanggilku untuk
ikut ke dalam kamarnya. Kakak-kakakku masih tetap berada diruang tamu dan
menikmati acara di televisi.
Hatiku langsung menerka-nerka, mengapa sikap
orangtuaku begitu acuh terhadap Ari. Aku menuju kamar orangtuaku.
“Ada apa Bu,?” kataku.
“Nisa, Ayah sama Ibu harus
bicara sama kamu,” ujar Ibu, ”hubungan kalian harus disudahi saat ini juga
Nis.”
Jleb! Aku langsung
menutup mulutku dengan tanganku. Rasanya tak percaya ketika Ayah berbicara
seperti itu.
“Mengapa Yah mengapa?
Ada apa ini sebenarnya? Mengapa Ayah tiba-tiba berbicara seperti itu?”
“Nisa, Ayah minta maaf.
Ini semua demi kebaikan kalian. Hubungan kalian untuk saat ini cukup berteman
saja.”
“Alasannya apa Ayah?”
aku menengok kearah Ibu, ”Bu mengapa bisa seperti ini.” akhirnya airmataku
meluncur dengan deras dipelupuk tulang pipiku.
“Kamu harus fokus
kuliah Nisa, Ayah tidak mau kuliahmu terganggu. Ingat Nisa masa bakti ayah
sudah hampir habis. Hanya kamu harapan Ayah dan Ibu satu-satunya.”
“Tapi Ayah, Nisa sayang
Ari. Ari pun sama sayang sama Nisa,” ujarku sambil mengusap butiran yang
menempel dipipiku,”selama ini kuliah Nisa tidak terganggu kok Yah, justru Nisa
jadi semangat kuliahnya karena kami sering belajar bareng, saling membantu
dalam hal mengerjakan tugas kampus.”
“Cukup Nisa, mengapa
kamu jadi tidak penurut seperti ini. Ayah sudah bilang, ini kebaikan kalian dan
juga kebaikan Ayah dan Ibu. Masuk kamar, mandi lalu solat magrib!” bentak Ayah.
“Baik Ayah, maafkan
Nisa. Permisi.” Seraya meninggalkan kamar orangtuaku.
Baru pertama kali ini, ayah
membentakku seperti itu. Ya Tuhan, mengapa akhirnya seperti ini. Apa yang harus
aku lakukan. Bagaimana pula aku mengatakan hal ini kepada Ari. Aku mencari
ponselku untuk menghubungi Ari. Tak perlu menunggu lama, terdengar suara Ari di
dalam ponsel tersebut. Aku mengatakan bahwa esok hari, ada hal penting yang
harus aku bicarakan dan Ari pun menyetujui perkataanku. Sempat menanyakan ada
apa masalahnya, namun aku mengelak kalau hal ini harus dibicarakan empat mata
dan tidak bisa dibicarakan lewat ponsel seperti ini.
Terdengar suara ketukan pintu dan
disusul dengan suara lembut Ibu. Ibu menghampiriku yang tengah berbaring di
tempat tidur. Melihat mataku yang sembab akibat deraian airmata, Ibu langsung
memelukku dan berkata,”Nisa sayang, kamu tidak boleh seperti ini Nis. Apa yang
dikatakan Ayah tadi benar. Walaupun Ibu paham akan hatimu ini.”
“Ibu,
boleh Nisa bertanya?” ujarku seraya melepaskan dekapan Ibu,”mengapa dulu Ibu
dan Ayah merestui hubungan Nisa dan Ari bu? Mengapa ketika rajutan yang kami
buat hingga sejauh ini harus berhenti sampai disini Bu.”
“Jujur
saja Nisa, Ibu dan Ayah melarang kamu untuk menjalani hubungan spesial dengan
pria mana pun. Namun, dengan Ari ini, kami memberikan kesempatan kepada kalian
untuk bisa mengenal satu sama lain. Ari baik dimata Ibu dan Ayah, Ari juga
sayang sama kamu Nisa. Tetapi Ayah dan Ibu lebih sayang kamu, rasa kasih sayang
yang kami berikan pun murni nan tulus Nisa.”ujar Ibu sambil membelai rambut
hitam panjangku.
Ketika
Ibu berbicara seperti itu, mulutku hanya bungkam tak dapat mengeluarkan
kata-kata. Memang benar juga apa yang
dikatakan Ibu. Perbincangan antara aku dan Ibu harus berhenti karena hampir
larut malam. Seperti biasa, Ibu mencium pelipis jidatku dengan lembut dan
mengucapkan ‘selamat tidur dan semoga mimpi indah’ untukku.
***
Selepas kegiatan belajar dikelas,
ayunan kakiku ini melangkah dengan cepat menuju suatu tempat yang memang
menjadi tempat kesukaan kami. Aku melihat sosok lelaki dengan postur badan yang
tinggi, berkulit putih, dan berkacamata itu sedang duduk dibawah pohon yang
kami sebut ‘pohon bercerita’ karena banyak cerita yang kami ceritakan ketika
kami sedang duduk di bawah pohon tersebut.
Aku menghampiri Ari, lalu duduk
disampingnya. Meminta maaf karena sudah telat datang. Melihat paras Ari yang
begitu indah aku tidak tega mengatakan ini semua.
“Nisa,
ada apa? Mengapa wajahmu begitu tidak ceria seperti biasanya, kamu sakit?” kata
Ari seraya memperhatikan kondisiku.
“Tidak
Ari, aku tidak sakit. Hanya sedikit kurang tidur saja semalam, karena harus
mengerjakan tugas kampus,” ujarku dengan sedikit berbohong kepada Ari.
“Syukurlah
kalau kamu tidak sedang sakit Nis, oh iya, ada hal apa yang harus dibicarakan?”
Langsung saja aku menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi, dengan segenap keberanian, dengan segenap keteguhan
hatiku, aku ungkapkan kepada Ari. Namun, terlihat diwajah Ari tidak ada
tanda-tanda wajah yang sedih, kaget, ataupun kecewa. Bahkan, terlihat wajah
yang lembut, wajah yang penuh dengan senyuman khasnya itu.
“Nisa
sayang, aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi. Semalem Ayahmu datang ke
kostanku dan membicarakan masalah ini baik-baik. Benar apa yang dikatakan
Ayahmu. Rajutan hubungan yang kita buat ini memang hanya bersifat semu,” kata
Ari.
Kami
terdiam sesaat. Tak ada yang berbicara baik aku ataupun Ari.
“Ikutilah
kata orangtuamu Nis, aku ikhlas, tapi aku akan jaga kamu seperti sediakalanya.
Untuk saat ini, kita berteman dulu. Kita perbaiki akhlak kita sambil menjaga
hati kita ini. Insya Allah, jika Allah mengizinkan kita sampai hari yang halal
buat kita nanti kelak.”
Ah
Ari memang pria yang dewasa pemikirannya, tidak salah aku dulu memilih untuk
bisa mengenal Ari. Aku hanya bisa tersenyum disaat itu. Ari mengusap airmataku
dan memeluk tubuhku sambil membelai rambutku.
Tiba-tiba Ari melepaskan dekapannya
dan berkata, “Nisa! Maukah kamu kalau kita kawin lari saja?” ujar Ari sambil
berdiri lalu lari meninggalkan aku. Aku langsung mengejar Ari pada saat itu.
Enak saja dia ngajak kawin lari. Memangnya tidak capek kalau kawin sambil
lari-lari. Hahaha. ***
Astria
Rachmayanti, 2014.
Begitu menyakitkan memang jika suatu
hubungan tidak direstui oleh orangtua. Lebih menyakitkan dibanding dengan suatu
perselingkuhan yang sedang marak terjadi di era globalisasi percintaan pada
masa saat ini. Disaat dua hati manusia yang sedang diselimuti baluran kasih
sayang tiba-tiba harus dipotong dengan sebuah pemotong yang tajam. Keputusan
orangtua Nisa memang baik untuk Nisa maupun Ari kedepannya akan tetapi hati
Nisa masih menerka-nerka akan keputusan itu. Nisa hanya bisa mengikutinya
dengan hati yang tegar dan mencoba untuk menerima.
“Darimana kamu Nis ?”Tanya Ibu,” sudah
malam begini kamu baru pulang.”
“habis jalan sama Ari Bu. Maaf Nisa
tidak izin karena tadi baterai ponsel Nisa habis.”
“mulai saat ini waktu